Thursday, June 11, 2009

Penilaian Aset yang Diambil Alih (AYDA)

Oleh : Hamid Yusuf
MEMANASNYA isu Bank Lippo dalam konteks laporan keuangan ganda akhir-akhir ini telah mengambil perhatian yang cukup luas di masyarakat. Isu tersebut dipicu terbitnya laporan keuangan Bank Lippo per tanggal 30 September 2002 yang telah dipublikasikan dalam dua laporan yang berbeda.
SALAH satu perbedaan yang prinsip dari kedua laporan keuangan tersebut adalah terjadinya penuruan nilai aset yang diambil alih (AYDA). Pada laporan yang dipublikasikan 28 November 2002, nilai AYDA sebesar Rp 2,393 trilyun. Sementara pada laporan yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002 nilai AYDA Bank Lippo terjadi penurunan menjadi Rp 1,420 trilyun. Perubahan ini memberikan konsekuensi terhadap tingkat kesehatan bank yang diukur dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), yang sebelumnya 24,72 persen menurun menjadi 4,23 persen. Nilai AYDA yang tercantum di Laporan Keuangan itu merupakan fokus dalam masalah ini dan merupakan hasil suatu penilaian aset oleh lembaga penilai.
AYDA pada umumnya adalah aset jaminan menurut UU Perbankan No 10 Tahun 1998, aset tersebut dapat diperoleh dari membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank. Aset yang diambil alih ini wajib dicairkan secepatnya atau dalam jangka waktu satu tahun.
Fenomena "Nilai" dalam konteks AYDA di atas, memberikan kontribusi yang relevan terhadap pembentukan total aktiva (asset) dan CAR. Sehingga, bila dalam jangka waktu tertentu dilakukan beberapa kali penilaian dan pelaksanaan penilaiannya juga tidak dipahami dalam persepsi yang sama, maka indikasi nilai yang muncul dapat saling berbeda atau setidaknya terjadi hasil penilaian yang jauh berbeda di antara penilaian awal sewaktu AYDA diambil dengan penilaian ulang pada waktu berikutnya.
Dalam hal ini, setidaknya terdapat beberapa pola pikir yang mendasari penilaian aset atau properti yang ditujukan untuk keperluan perbankan. Terutama dalam melihat posisi aset yang dinilai dapat berupa, (a) aset jaminan, (b) aset sitaan yang dibukukan sebagai aset yang diambil alih, atau (c) aset itu untuk dijual atau dilelang
Persepsi penilaian
Pelaksanaan pekerjaan penilaian yang dilakukan oleh seorang penilai tidak identik dengan pemahaman seolah-olah nilai yang dihasilkan memiliki besar dan tingkatan yang sama untuk semua keperluan. Pada penilaian AYDA pada suatu bank ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya nilai yang berbeda. Pertama, nilai pada posisi pengalihan awal. Nilai yang dicantumkan bisa didasarkan dari hasil suatu penilaian yang menggunakan basis penilaiannya ’Nilai Pasar’. Atau, bisa juga manajemen bank menggunakan angka berdasarkan nilai agunan yang dilakukan penilai internal bank pada waktu pengikatan. Kedua, nilai pada posisi hendak dijual, pihak bank biasanya melakukan penilaian ulang dan penilaian ini lebih terkait pada tujuan untuk menentukan harga dasar jual/lelang.
Idealnya, seorang penilai harus memahami kepentingan suatu penilaian sebagai sesuatu yang memiliki dampak terhadap kepentingan masyarakat. Sebaliknya, pemberi tugas atau pemakai jasa penilaian juga harus memahami hal tersebut dan lebih jauh harus mengetahui secara yakin kepentingan diterbitkannya suatu nilai. Karena itu, dalam lingkup pelaksanaan tugas penilaian (scope of work), hal yang paling mendasar untuk diketahui pada tahap awal adalah; maksud dan tujuan penilaian. Dengan mengetahui jenis dan kategori aset yang menjadi objek penilaian, maka dapat ditentukan basis/dasar nilai (jenis nilai) yang hendak diterbitkan.
Secara garis besar, penilaian mengarah kepada dua tujuan utama, meliputi; penilaian untuk laporan keuangan (financial reporting) dan penilaian untuk ditujukan kepada jaminan pelunasan utang (lending purposes). Kedua peruntukan penilaian ini telah mengacu kepada Standar Penilaian Indonesia (SPI), yang merupakan standar yang diadopsi dari IVS (International Valuation Standards). Perbedaan yang cukup prinsip dari kedua peruntukan tersebut adalah pemahaman kedudukan aset sebagai bagian dari aset perusahaan di satu sisi dan aset sebagai jaminan di sisi lain.
Aset sebagai jaminan dalam suatu penilaian, diharapkan dapat memberikan pertimbangan atau laporan kepada lembaga pemberi pinjaman (kreditor) yang menyediakan dana pinjaman dalam rangka menjamin keamanan dana pinjaman. SPI menetapkan basis nilai yang digunakan adalah nilai pasar (market value). Penilaian yang diperuntukan untuk laporan keuangan, aset dapat dilihat dari kedudukannya di laporan keuangan. Kedudukan aset dapat dilihat sebagai aset operasional perusahaan dan aset nonoperasional yang tidak terkait pada kegiatan usaha perusahaan. Basis nilai yang diisyaratkan oleh SPI dapat menghasilkan nilai pasar (market value). Dapat juga menghasilkan nilai selain nilai pasar (non market value).
Basis nilai yang termasuk dalam kategori selain nilai pasar, antara lain nilai jual paksa (forced sale value/liquidation value), Nilai Realisasi Bersih (Net Realiseble Value), Nilai pasar untuk penggunaan yang ada (market value for the existing use), dan beberapa lainnya.
Dengan pemahaman di atas, aset jaminan yang diambil alih (AYDA) pada suatu bank dapat dikategorikan pada aset nonoperasional (aktiva lain-lain) yang tidak terkait kepada usaha inti bank bersangkutan (core business), di mana indikasi itu terlihat dari posisi pencatatan yang ada di neraca. Hal ini berbeda bila proses penjaminan masih aktif dan berlangsung di antara debitor dan kreditor, sehingga nilai yang dihasilkan dari suatu proses penilaian dapat diartikan untuk keperluan jaminan.
Pada kepentingan lebih luas, jaminan yang harus dicairkan karena hukum, dapat diteruskan untuk dijual secara langsung maupun secara lelang. Untuk keperluan penjualan aset (asset disposal), pada umumnya pasar lebih sering menggunakan basis nilainya dengan Nilai Jual Paksa (nilai likuidasi), karena perilaku penjualan atas aset di batasi waktu tertentu dan terkadang pembeli maupun penjual berdiri pada kedudukan yang terpaksa.
Penilaian AYDA
Apakah perlu dan penting untuk mengetahui peruntukan penilaian (tujuan penilaian) dalam hubungannya dengan AYDA? Bagi seorang penilai, hal ini sangat perlu dan berarti.
Salah satu "kasus" yang menarik untuk dijadikan pelajaran dalam konteks AYDA yang terakhir ini adalah AYDA Bank Lippo. Persepsi yang beraneka ragam dari masyarakat, pemerhati, maupun dari yang berkepentingan terhadap permasalahan Bank Lippo, secara langsung-terlepas dari laporan keuangan ganda yang diterbitkan telah menyimpulkan bahwa nilai AYDA dari beberapa kali hasil penilaian yang dikeluarkan dapat ditafsirkan keliru. Naik turunnya nilai suatu aset seharusnya dapat dipahami sebagai hal yang wajar bila parameter penilaian (lingkup penugasan penilaian) yang dilakukan berbeda-beda.
Sebaliknya, pada parameter yang sama, seharusnya perubahan nilai, sesuatu yang tidak signifikan bila kondisi pasar mendekati stabil kalau bukan pada posisi yang cukup stabil. Artinya, penilaian yang dilakukan secara berulang pada basis nilai dan jumlah aset yang sama, sepatutnya besaran nilai yang dihasilkan lebih kurang sama.
Pada umumnya aset jaminan yang diikat oleh bank melalui pengikatan Hak Pertanggungan pada properti, seperti tanah dan bangunan mengacu kepada penilaian yang diperuntukan untuk keperluan jaminan. Sementara pada aset yang diambil alih, seperti yang disebutkan di atas dinilai dengan mengacu kepada penilaian untuk peruntukan laporan keuangan.
Oleh karena itu, pada uraian sebelumnya disebutkan posisi AYDA tercatat di neraca sebagai aktiva lain-lain yang berarti aset nonoperasional, maka bila tujuan penilaian untuk kepentingan laporan keuangan seharusnya permasalahan ini dipahami betul oleh pihak perbankan selaku pemberi tugas.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 31 mengisyaratkan, bahwasanya agunan kredit yang diambil alih diakui sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi. Yaitu, nilai wajar agunan setelah dikurangi estimasi biaya pelepasan. Dalam pemahaman penilaian sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI). Apa yang dimaksud PSAK tersebut, bahwasanya basis atau dasar nilai yang dapat digunakan sama adalah Nilai Realisasi Bersih/NRB (Net Realisable Value). Dengan demikian, nilai AYDA dalam awal pencatatannya seharusnya telah menggunakan NRB sebagai dasar penilaian.
Dari pemahaman di atas, bila ada suatu informasi yang tidak terungkap dalam lingkup penugasan penilaian, pada gilirannya menghasilkan sesuatu yang keliru. Apalagi bila mengacu ke SPI untuk tujuan laporan keuangan, yang telah memberikan peluang dapat menggunakan basis penilaian dengan Nilai Pasar atau nilai selain Nilai Pasar, seperti Nilai Realisasi Bersir (NRB).
Nilai Realisasi Bersih dapat diartikan perkiraan harga jual suatu aset dalam suatu usaha yang berjalan sebagaimana biasa, dikurangi biaya penjualan dan biaya penyelesaian. Sedangkan nilai pasar, biasanya merupakan jumlah kotor, atau lebih tepat, nilai nominal (face value) sebelum dikurangi biaya penjualan.
Terlepas dari nilai yang dihasilkan, penilaian atas AYDA untuk tujuan dijual dan secara bersamaan nilainya dimasukkan ke neraca, dalam hubungannya dengan praktik penilaian menjadi hal yang baru, dan memungkinkan ada pihak yang keliru memahami dan melihat persoalan ini secara proporsional. Tetapi, konsistensi penggunaan dasar nilai yang tepat dari dua kepentingan tersebut bila menggunakan NRB sebagai acuan, menurut penulis sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan. Cuma, untuk program penjualan aset yang dibatasi persyaratan tertentu, seharusnya NRB tersebut disesuaikan basis nilai yang lain seperti Nilai Realisasi Bersih Terbatas (NRBT).
Permasalahan AYDA seperti "yang terjadi pada laporan keuangan"kasus" Bank Lippo, seharusnya menjadi pelajaran profesional semua pihak berkepentingan.
Tanggung jawab profesional, penilai maupun pengguna jasa untuk saling terbuka dan sepakat terhadap lingkup penugasan yang hendak dilaksanakan, sehingga tidak menghasilkan kerugian bagi publik.

Hamid Yusuf Penilai Senior dan Pengurus Masyarakat Profesional Penilai Indonesia (MAPPI) Pusat

Sumber : www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/14/finansial/180961.htm

Labels: